Borneoneo’s Weblog

Just another WordPress.com weblog

memahami ilmu pengetahuan melalui bahasa

BAB I

 

  1. A.    LATAR BELAKANG

Kegiatan pemahaman terhadap suatu ilmu memerlukan suatu cara yang memberikan penjelasan atau pemahaman yang benar bukan malah tambah menyesatkan, dan perlu pula memahami apa yang menjadi kriteria dari sesuatu itu sampai disebut dengan  ilmu. Untuk lebih memahami tentang ilmu atau bidang-bidang ilmu lainnya maka perlu memahami  ilmu itu lewat telaah filsafat ilmu yang merupakan cara untuk menelaah suatu ilmu secara khusus dan filsafat ini merupakan awal dari ilmu atau ilmu pengetahuan yang ada. Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu  sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.

 

  1. B.     Perumusan Masalah

Adapun yang dibahas dalam makalah ini meliputi :

  1. Bagaimana Pengertian Filsafat Ilmu ?
  2. Apa yang menjadi hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan ?
  3. Bagaimana Memahami  Ilmu Pengetahuan melalui Bahasa ?  

  

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.    Pengertian Filsafat Ilmu.

Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik  dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.

Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa  filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980)  bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.

Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).

Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.

Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

  1. B.     Pengetahuan, ilmu dan filsafat

Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya terjadi proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.

Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab “what” melainkan akan menjawab pertanyaan “why” dan “how”, misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu tersebut terjadi.

 

Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu.

Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Mempunyai objek kajian

b. Mempunyai metode pendekatan

c. Bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum)

Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia.

Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab pertanyaan “why, why, dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia.

Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang pengkajian filsafat menjadi lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Disini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan melainkan mengaitkannya dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi.

Namun demikian dengan taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat. Misalnya ekonomi masih merupakan penerapan etika (appliet ethics) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif (berpikir dari hal-hal yang umum kepada yang bersifat khusus) berdasarkan asas-asas moral yang filsafat.

Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan bertumpu sepenuhnya pada hakekat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan, ilmu masih mendasari diri pada norma yang seharusnya sedangkan dalam tahap terakhir ilmu didasarkan atas penemuan-penemuan.

 

Sehingga dalam menyusun teori-teori ilmu pengetahuan tentang alam dan isinya ini maka manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normatif dan deduktif melainkan kombinasi antara deduktif dan induktif (berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus kepada hal-hal yang bersifat umum) dengan jembatan yang berupa pengujian hipotesis.

Selanjutnya proses ini dikenal sebagai metoda deducto hipotetico-verivikatif dan metode ini dipakai sebagai dasar pengembangan metode ilmiah yang lebih dikenal dengan metode penelitian. Selanjutnya melalui atau menggunakan metode ilmiah ini akan menghasilkan ilmu.

August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut diatas kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto).

Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesis-hipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika tersebut (hipotetico).

Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verivikasi yang objektif (verivikatif).

Secara visual proses perkembangan ilmu pengetahuan tersebut yang selanjutnya merupakan kerangka-kerangka metode ilmiah dapat digambarkan seperti logico-Hipotetico-Verivikatif artinya mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis berdasarkan logika tersebut, kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris Ahmad Tafsir (2004:33)

 

  1. C.    Memahami Ilmu Pengetahuan Melalui  Bahasa

Manusia tidak dapat lepas dari bahasa. Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, tentu ada peran bahasa yang membuat satu sama lain dapat berkomunikasi, saling menyampaikan maksud. Tak hanya dalam bentuk lisan, tentu saja bahasa juga digunakan dalam bentuk tulisan. Banyak filsuf yang justru mengawali pemikirannya dari problem bahasa. Tentunya bahasa disini bukan berarti sekedar mempelajari tata gramatikal bahasa ataupun bahasa asing, melainkan bagaimana pengertian seseorang dapat terpengaruh ‘hanya’ dari penggunaan kata-kata atau pemikiran. Sangat penting untuk dapat tetap berpikir kritis dalam mengerti ucapan seseorang maupun teks. Teori-teori yang berkembang dalam filsafat bahasa inilah yang kemudian menjadi alat bagi setiap orang untuk dapat lebih mengeksploitasi sebuah pemikiran, baik yang terucapkan maupun dalam bentuk teks.

Mungkin  akan terkesan “ah, bahasa.  Menurut Ernest Cassirer bahwa keunikan manusia bukanlah pada pikirannya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa menurut Ernest Cassirer manusia sebagai Animal Symbolicum artinya mahluk yang mempergunakan symbol Jujun S. Suriasumantri (2003:171) menurut Wittgenstein batasan bahasaku adalah batasan duniaku. Pendapat lain oleh Bloch and Trager mengatakan a language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group cooperates yang artinya bahasa adalah suatu system symbol-symbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi.) Bernard Bloch and Goerge L. Targe (1942:5). Sesuai dengan pendapat diatas Joseph Broam menyebutkan A languge is a structured system of arbitrary vocal symbols by means of wich members of social group interact. (artinya bahasa adalah suatu system yang berstruktur dari symbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain) Joseph Broam (1995:2)  Padahal untuk penelaahan ilmiah memerlukan sarana yang berupa bahasa.  Dimana bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran kepada orang lain . validitas suatu bahasa juga bergantung pada macam ilmu pengetahuan yang diwakilinya – apakah pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindera atau pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi ilmiah. Filsafat bahasa meliputi apakah objek bahasa ! apakah tujuan bahasa ? serta apakah metode bahasa ?

1)      Apakah objek bahasa

Bahasa adalah suatu gejala manusiawi-umum, artinya tidak ada manusia tanpa bahasa dan tidak ada bahasa tanpa manusia. Tentu saja objeknya hanya telaah tentang bahasa manusia yang dalam definisi lama adalah animaloquax (hewan berbicara). 

2)      Apakah tujuan bahasa

Bahasa bisa digolongkan dalam 2 kelompok yakni bahasa alamiah dan bahasa buatan dimana bahasa alamiah diartikan sebagai bahasa yang digunakan untuk komunikasi umum. Untuk dapat digunakan oleh para pemakai bahasa untuk menggunakan dan menuturkan segala apa yang terletak didunia dan pengalaman  dan daya tanggapan , baik pergaualan atau hal-hal khusus sehari-hari. Sedangkan bahasa buatan adalah suatu bahasa yang telah dirancang untuk menggantikan bahasa alamiah. System notasi dan komunikasi ilmiah pun telah dirancang untuk mempermudah pembahasan masalah ilmiah tertentu, yaitu bahasa matemaka, logika, kimia, atau juga bahasa program yang sering disebut bahasa Komputer.  Guna menuangkan perintah kedalam sebuah Komputer.    

3)      Apakah metode bahasa.

Metode atau metodelogi yang diterapkan dalam bahasa meliputi : (hipotesis)  

 1) bahasa harus dideskripsi melalui pengamatan dan klasifikasi fakta-fakta (pendekatan Induktif),  2) melalui intuisi dan kontruksi suatu model dari mana fakta-fakta yang memenuhi syarat bisa disimpulkan  (pendekatan deduktif).

1)      Pendekatan Induktif

Menurut pendekatan ini satu-satunya pernyataan tentang bahasa yang dapat dianggap valid/sahih adalah pengertian yang diperoleh dari pengamatan fakta-fakta linguistic, mengklasifikasikanya, dan membuat generalisasi tentang apa yang diselidiki dan diklasifikasi. Namun perlu diperhatikan bahwa fakta-fakta yang dapat dibuktikan oleh indera sajalah yang memiliki validitas ilmiah

2)      Pendekata deduktif

Ahli-ahli bahasa yang menggunakan pendekatan ini mengikuti ilmu teoritis. Dengan mengambil pola, menyusun model teoritis, dan mengujinya untuk mengetahui sampai seberapa banyak ia dapat mengambil kesimpulan darinya. Teori deduktif yang diangap paling baik adalah teori yang bisa memberi gambaran untuk sebagian besar lainya yang belum diketahui.

Ini mencakup beberapa bagian :

  1. Pengumpulan bahan : mengamati, membandingkan, satu dengan lain serta menyusun data bahasa.
  2. Pembentukan hipotesa : untuk memilih hipotesa harus sebijaksana mungkin karena hipotesa merupakan fakta yang belum diuji kebenaranya.
  3. Menjabarkan (melakukan deduksi) ramalan : menjabarkan ramalan dari hipotesa yang dibuat jika hipotesa tertentu tepat maka dalam situasi ini dan itu harus timbul ini dan itu.
  4. Menguji coba ramalan yang telah dijabarkan  : apakah hipotesa yang diuji coba tepat atau tidak tepat maka makin banyak hipotesa diuji maka makin layak bhawa hipotesa itu tepat. Diterima atau ditolak.

 

Ada beberapa kelemahan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah pertama terletak  pada hakekatnya fungsi bahasa itu yang bersifat multi fungsi.  bahasa itu sendiri, berfungsi  meliputi sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah yang digunakan hanya aspkek simbolik saja tanpa membawa aspek emotif atau aspek afektif karena sifat pengetahuan ilmiah harus objektif tanpa mengandung unsur emosi dan sikap / atau dengan bahasa lainnya dapat dikatakan bersifat antiseptic dan reproduktif.  Yang kedua terletak pada arti tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Artinya satu pengertian yang disampaikan bisa memberikan penjelasan yang bertele-tele atau terlalu panjang sehingga komunikasi ilmiah malah menjadi tidak komunikatif lagi. Ketiga bahasa mempunyai beberapa kata yang memiliki pengertian atau arti yang sama. Artinya bahasa memilik arti majemuk.

 

Agar bahasa ilmiah atau komunikasi ilmiah terhindar dari bias kedalam kelemahan tadi maka dalam penggunaannya bahasa ilmiah harus terbebas dari unsur-unsur emotif  dan bersifat reproduktif  artinya bila pengirim komunikasi menyampaikan komunikasi informasi berupa X maka si penerima informasi haruslah menerima informasi berupa X tadi pula. Jadi informasi yang diterima haruslah merupakan reproduksi yang benar-benar sama dengan informasi yang dikirim. Guna menghindarkan dari mis-informasi yaitu menyampaikan sesuatu tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan . dimana informasi yang berbeda juga akan menghasilkan proses berpikir yang berbeda pula. Maka itu harus jelas dan bebas dari aspek emotif dan sikap.

            Cara yang lain adalah menggunakan bahasa yang jelas artinya bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna  lain. Dengan jelas bahasa yang digunakan bahwa maka juga jelas pendapat atau pemikiran yang lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar pustaka

W.F. Mackey.1984. Analisis Bahasa Untuk Pengajaran. Surabaya: Usaha Nasional.

Dik. S. C. Dik/JG KOIJ.1994.  Ilmu Bahasa Umum. Jakarta:Rul.

Chauchard. Paul.  1983. Bahasa dan Pikiran. Yogyakarta: Yayasan Karnisius.

Depdiknas. 1983. Filsafat  Ilmu. Dikti: Jakarta.

The Liang Gie. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Jujun S. Suriasumantri, 2003.Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Bahtiar. Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Juni 9, 2013 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar